Selasa, 16 Juni 2015

Syahadatain adalah rukun Islam yang pertama dan setiap rukun tentu ada syarat sahnya, kalimat yang menentukan apakah dia seorang muslim ataukah bukan, kalimat ini juga adalah pintu gerbangnya islam, barang siapa yang memasukinya maka islamah dia. 
Haruskah kita bersyahadat kembali, bukankah kita sudah islam semenjak kita lahir dan orang tua kitapun islam, dan bukankah kita selalu mengucapaknnya setiap kali kita sholat ? 
Mungkin pertanyaan inilah yang kadang menjadi sebuah perbincangan dikalangan umat islam, maka marilah kita pahami bagaimana menurut Al-qur’an dan hadits serta pendapat para ulama membahas tentang hal ini. 

Allah swt berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (QS 7:172)
Para mufasirin menafsirkan ayat ini adalah persaksian rububiyahnya Allah, dan setiap anak cucu adam diminta pesaksiannya ketika dialam rahim.
Kemudian Rosululloh saw bersabda :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
Setiap yang dilahirkan maka ia lahir dalam keadaan fitroh (islam) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang yahudi, nasroni ataupun majusi seperti binatang melahirkan binatang juga, apakah kamu melihat ada kelainan didalamnya( HR bukhori)

Allah swt berfirman :

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
 Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(QS 30:30)

Para ulama mufasiriin ketika menafsirkan kalimat fitroh artinya adalah islam. Maka setiap anak cucu adam lahir dalam keadaan fitroh (islam) sebagaimana disebutkan dalam tafsir ibnu katsir bahwa setiap anak yang lahir maka ia lahir dalam keadaan fitroh sampai dia mengungkapkannya (mengikrarkannya) dengan lisannnya, sebagaimana Rosululloh bersabda :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ
“Setiap anak yang lahir maka ia lahir dalam keadaan fitroh sampai ia mengungkapkannya dengan lisannya” maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang yahudi ataupun nasroni. Kemudian dalam ayat ”tidak ada perubahan pada fitroh itu” artinya adalah tidak ada perubahan dalam fitroh Allah, maka manusialah yang merubah fitroh mereka yang mana Allah telah menciptakan mereka menurut fitrohnya.
Kalaulah kita perhatikan ayat dan hadits diatas menunjukan bukan hanya kedua orang tualah yang bisa menjadikan anaknya seorang yahudi, nashroni, sekuler, dan paham-paham sesat yang lainnya. Akan tetapi lingkungan juga berperan aktif merubah fitroh-fitroh mereka sehingga mereka keluar dari fitrohnya dan menjadi penentang-penentang syari’at Allah.
Para ulama memang menafsirkan kalimat fitroh adalah islam, karena lahir masih dalam keadaan perjanjian yang pertama ketika di alam rahim, akan tetapi dalam ayat tersebut hanya mengikrarkan syahadah rububiyah (bahwa Allah yang menciptakan, mengatur dan mendidik) saja tanpa diikuti oleh persaksian yang kedua yaitu pesaksian kerosulan Nabi muhammad saw, bukan kah seorang muslim tidak cukup hanya mengakui Allah saja tapi harus mengakui akan kerosulan Nabi muhammad saw. Karena dalam hal ini orang orang kafir pun mengakui kerububiyahan Alloh, sebagaimana dalam firman Alloh :
 وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS 31:25)
Dalam kitab fathul bari ibnu hajar berkata dalam bab ma qiila fi auladil musrikiin bahwa ibnu qoyyim al jauziyah berkata dalam mengomentari hadits” setiap anak yang lahir maka ia lahir dalam keadaan fitroh” bukanlah maksud “setiap anak yang lahir maka ia lahir dalam keadaan fitroh” bahwa dia keluar dari perut ibunya mengetahui tentang hal dien ini, karena Alloh swt berfirman :

وَاَللَّه أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُون أُمَّهَاتكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(QS 16:78)
Kemudian beliau melanjutkan, akan tetapi maksudnya adalah menuntut untuk mengetahui dienul islam dan mencintainya, dan fitroh itu sendiri menuntut pengikraran dan kecintaan. Beliau juga berkata bahwa maksudnya adalah setiap anak yang lahir, ia lahir dalam keadaan perjanjian yang pertama atas rububiyahnya Alloh.
Maka ketika sudah mencapai baligh kitapun harus mengikrarkan uluhiyahnya Allah (yaitu satu-satunya illah yang berhak disembah) disertai pengikraran atas kerosulan Nabi muhmmad saw.sebagaimana syaikh sholih bin Abdul aziz bin muhammad bin ibrohim dalam kitab attamhid syarh kitab tauhid mengatakan bahwa persaksian ini adalah persaksian yang diucapkan oleh seorang mukalaf (baligh).
Islam adalah dien yang sesuai dengan fitroh manusia yaitu akan kecenderunganya terhadap kebenaran, maka kedua orang tuanyalah yang harus menjaga kefitrohan anak tersebut hingga dewasa sehingga pada waktunya dia sudah siap menerima tugasnya sebagai manusia dengan dimintanya sebuah perjanjian akan siap menerima dan melaksanakan apa-apa yang menjadi perintah Allah dan Rosulnya serta menjauhi semua bentuk larangannya. 
Kemudian kalaulah kita lihat kembali bahwa dalam persaksian dua kalimah syahadat ada syarat-syaratnya hal ini menunjukan bahwa setiap manusia harus mengikrarkan dua kalimat syahadat . karena hakikat syahadat adalah sebuah pengakuan,membenarkan, pengikraran, perjanjian akan siap mendengar dan taat dengan apa-apa yang Allah dan Rosulnya perintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. 
Dan seseorang tidak akan membenarkan sesuatu tanpa adanya sebuah ilmu yang akan menghasilkan sebuah keyakinan, keyakinan yang akan menimbulkan sikap menerima dan ikhlas dalam berbuat.
Syahadat juga merupakan persaksian telah sampainya ilmu dan dakwah kepadanya sehingga dia berjanji untuk siap mendengar dan taat, ingatlah ketika Allloh mengambil perjanjian kepada para Nabi. Alloh swt berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آَتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi : "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".(QS 3:81)
Kemudian, kita sering bersyahadat dalam sholat, adzan dan lain-lain terus kenapa kita harus bersyahadat kembali ????
Ingatlah, bahwa dalam satu niat tidak boleh ada dua pekerjaan, dan bahwa kalimat syahadat dalam hal tersebut adalah sebagian bacaan dalam sholat dan adzan, bukan niat untuk mengadakan sebuah perjanjian dan persaksian, karena dalam sebuah persaksian ada syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya adanya saksi, orang yang disaksikan dan shigot persaksian, sebagaiman para sahabat melakukannya.

Maka dengan ini wajiblah bagi setiap muslim untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat sekali seumur hidup tentu dengan syarat-syarat dan konsekuensinya yang telah ditetapkan dan dicontohkan oleh para sahabat. 
Maka karena paham islam keturunanlah yang akhirnya umat ini tidak mengerti akan hakikat dua kalimat syahadat yang sebenarnya, yang akhirnya tidak jelaslah wala’ dan bara’nya. Dan ketika mereka diseru kpada Allah mereka enggan dan menyombongkan diri. Sebagaiman dalam firmannya :

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka : "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.(QS 37:35)
Dalam ayat lain :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ? (QS 5:104)
Pada pembahasan diatas telah dijelaskan bahwa tidaklah cukup hanya mengakui akan kerububiyahan Alloh saja tanpa mengakui akan kerosulan Nabi muhammad saw. Dan yang dimaksud fitroh disini ialah islam ataupun lahir dalam keadaan bertauhid ataupun condong terhadap kebenaran yang mana harus diteruskan dengan perjanjian ataupun persaksian akan keuluhiyahan Allah dan kerosulan Nabi muhammad saw. 
Maka tanyakanlah pada diri kita sudahkah kita bersyahadat ? Kalau sudah kapan ? Kalaulah jawabannya di alam rahim, bukankah itu hanya persaksian rububiyah tanpa adanya persaksian kerosulan Nabi muhammad saw ?
Semoga tulisan ini menjadi kajian kita kembali akan keislaman kita hari ini dan Insya Allah bermanfaat.
Wallohu a’lam bi showab 

Minggu, 14 Juni 2015


Dalam berumah tangga, seringkali ditemukan perselisihan dengan pasangan. Rumah tangga bukanlah seperti panggung drama yang bisa diatur para pemainnya untuk berakting.

Biasanya ketika berumah tangga, kita akan menemukan hal-hal yang membuat kita bertanya “Ihh, kok dia begitu ya?” atau “Ya ampun, saya baru tahu kalau dia begini dan begitu”. Sayangnya, kalimat itu hanya muncul dalam pikiran kita dan realitanya kita pun harus menerima baik buruknya pasangan kita. Karena ketika berumah tangga, kita jadi mengetahui siapa sesungguhnya pasangan hidup yang menemani selama ini.
Berapa banyak wanita yang tidak bisa menerima kondisi pasangannya. Harapan serta angannya terlalu tinggi dalam menginginkan pasangan yang sesuai dengan kriterianya. Namun sayangnya, ketika sudah mendapatkan pasangan, ia menyesal. Ternyata cinta saja tidak cukup Wanita butuh sesuatu yang lain dari pasangannya.
Seperti kata peribahasa, “tidak ada asap, kalau tidak ada api”. Salah satu hal yang dapat membuat wanita berpaling dari pasangan adalah seorang suami yang dayyuts atau tidak memiliki rasa cemburu. Suami seperti ini mengizinkan istrinya bekerja di tempat kerja yang terdapat kemunkaran berupa ikhtilat atau bercampur baur di dalamnya dan berinteraksi tanpa batasan. Rasulullah Shalallahu alaihi Wassallam bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, (yaitu) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan DAYYUTS.” (HR. Nasai 5 :80-81; Hakim 1: 72, 4 : 146, Baihaqi 10 : 226 dan Ahmad 2 : 134)

Berkaca pada kecemburuan yang dilakukan oleh Saad bin Ubadah Radhiyallahu anhu “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukulnya dengan pedang sebagai sangsinya. Nabi Shalallahualaihi Wassallam bersabda, “Apakah kalian takjub dengan cemburunya Saad, sesungguhnya aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dari padaku”. (HR. Bukhari)
Rasa cemburu yang tidak ada pada diri suami memungkinkan sang istri tergelincir dalam sebuah kesalahan yakni perselingkuhan. Dan tidak adanya rasa cemburu ini yang membuat istri mencari perhatian dari lelaki lain yang bisa lebih memperdulikannya. Wanita lebih peka terhadap perasaannya sedangkan laki-laki peka terhadap logikanya. Maka, suami yang bekerja siang malam dan sibuk dengan segala aktivitasnya yang lain, dirasa oleh sang istri sebagai bentuk ketidakpeduliannya dengan sang istri. Sehingga ketika ada lelaki lain yang bisa mengisi kekosongan hatinya, bisa jadi sang istri berselingkuh dengan laki-laki lain tanpa ia sadari.

Alasan lain yang membuat wanita selingkuh adalah tidak ada keterlibatan sang istri dalam setiap keputusan yang diambil oleh suami. Misalnya ketika suami ada agenda liburan akhir tahun dari kantornya dan sang istri baru diberitahu H-7 sebelum keberangkatannya ke luar kota bersama rekan kerjanya. Dari sinilah bentuk kekecewaan sang istri bermula, ia merasa tidak dianggap sebagai seorang istri yang harusnya terlibat dalam setiap keputusan dalam rumah tangganya. Hatinya pun kecewa, dan ia pun membandingkan suaminya dengan suami-suami lain di luar sana sehingga pintu perselingkuhan pun terbuka.

Hal sepele pun bisa membuat perselingkuhan terjadi pada seorang wanita. Terlebih ketika seorang istri bekerja menjadi Ibu Rumah Tangga, maka sudah tentu waktunya lebih banyak habis di rumah. Dari sinilah kejenuhan bisa muncul, ia mencari hiburan dengan berselancar di dunia maya, menanggapi pesan singkat dari seorang lelaki yang tidak dikenalnya atau bahkan sapaan dari seorang lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya.

Duhai para istri Pintu perselingkuhan seringkali menggiurkan di depan mata. Mungkin sering tanpa kita sadari kita sudah mengetuk pintu perselingkuhan tersebut dengan mengawalinya dari ber-whatsappan dengan lawan jenis, menanggapinya dengan emoticon-emoticon yang tak semestinya padahal ketika kita berhadapan langsung, kita seolah menundukkan pandangan, kita seolah wanita yang menjaga pandangan dan tutur kata ketika berhadapan dengan lawan jenis. Namun tanpa sadar dunia maya ternyata bisa membuat kita seperti bunglon yang bisa berubah-ubah. Kita alim ketika bertemu dan berhadapan langsung namun kita liar ketika membalas pesan singkat ketika berchatting, ber-BBM ria dan lain sebagainya.
Sudah banyak fakta membuktikan, istri yang berselingkuh diawali dari dunia maya. Mereka mencari kenikmatan yang semu, nyatanya justru mereka sedang berupaya mengikis satu persatu dinding bangunan rumah tangga yang kokoh terbina selama ini.

Lalu bagaimana mengatasi semua ini ?Kembalilah pada pasangan masing-masing, lihatlah segala bentuk kebaikan dari dalam diri pasangan dan upayakan untuk tetap bersyukur terhadap pasangan yang telah Allah gariskan menjadi teman hidup kita.
Apapun kekurangan pasangan, mungkin kita tidak mendapatkan yang terbaik namun kita masih bisa berupaya untuk mengubah diri dan pasangan untuk sama-sama menjalani biduk rumah tangga yang baik dan dilimpahi kebaikan dari-Nya, insya Allah. (mozaik.inilah)

Jumat, 12 Juni 2015

 

Maaf, Istriku Bukan Jadi Konsumsi Umum


Baiknya istri kita tidak jadi konsumsi umum. Yang biasa terjadi adalah di media sosial seperti Facebook, dll. Ada istri foto selfie sendirian. Ada pula yang memamerkan kemesraan dengan suami di medsos.
Yang terjadi pula istri suka berdandan untuk orang lain ketika keluar rumah. Sedangkan untuk suami ? Dandannya pas-pasan, bahkan lebih senang memamerkan bau keringat daripada kecantikannya.

Begini alasannya …
Seorang suami ketika sudah melakukan akad nikah, berarti perwalian dari orang tua perempuan sudah berpindah padanya. Sehingga nafkah istri sepenuhnya jadi tanggung jawab suami.
Nah … jika demikian berarti kecantikan istri secara mutlak milik suami dong.
Jika demikian, apakah layak istri itu diobral, ditonton banyak orang ? Setiap orang boleh menikmati kecantikannya ?
Kalau penulis sendiri lebih senang kecantikan dan keelokan istri jadi milik suami. Bukan diumbar di depan umum. Tidak pula dengan menyuruh istri berdandan ketika keluar rumah.
Salah satu contoh istri teladan adalah Ummu Sulaim yang memiliki nama asli Rumaysho. Meskipun anaknya kala itu meninggal dunia, ia masih tetap berdandan cantik untuk suaminya. Dandanannya itu spesial untuk suaminya, bukan yang lainnya. Kisahnya sebagai berikut.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَاتَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ لأَهْلِهَا لاَ تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ – قَالَ – فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وَشَرِبَ – فَقَالَ – ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ فَوَقَعَ بِهَا فَلَمَّا رَأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعَ وَأَصَابَ مِنْهَا قَالَتْ يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ قَالَ لاَ. قَالَتْ فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ. قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ تَرَكْتِنِى حَتَّى تَلَطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبَرْتِنِى بِابْنِى. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بَارَكَ اللَّهُ
لَكُمَا فِى غَابِرِ لَيْلَتِكُمَا ». قَالَ فَحَمَلَتْ
Dari Anas, ia berkata mengenai putera dari Abu Thalhah dari istrinya Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata pada keluarganya, “Jangan beritahu Abu Thalhah tentang anaknya sampai aku yang memberitahukan padanya.”
Diceritakan bahwa ketika Abu Thalhah pulang, istrinya Ummu Sulaim kemudian menawarkan padanya makan malam. Suaminya pun menyantap dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum pernah ia berdandan secantik itu. Suaminya pun menyetubuhi Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas dan telah menyetubuhi dirinya, ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.”
Abu Thalhah lalu marah kemudian berkata, “Engkau biarkan aku tidak mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari tentang kematian anakku?”
Abu Thalhah pun bergegas ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan apa yang terjadi pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akan, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim pun hamil lagi. (HR. Muslim no. 2144)
Kenapa dandanan istri hanya untuk suaminya, bukan jadi konsumsi umum? Lihatlah perintah Allah,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzab: 33). Maqatil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri adalah seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak menutupinya dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan lehernya. Inilah yang disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah. Silakan kaji dari kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 183 (terbitan Dar Ibnul Jauzi).
Itu tanda wanita shalihah tidaklah suka dandan keluar rumah. Dandanan cantiknya spesial untuk suaminya saja.
Jika Anda -para suami- mendapati istri yang disayangi, yang selalu menjaga kecantikannya hanya untuk suami saja, maka bersyukurlah. Karena itulah ciri-ciri wanita terbaik sebagaimana disebut dalam hadits berikut ….

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 432. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Bandingkan dengan wanita saat ini, bahkan yang sudah berhijab. Mereka lebih ingin jadi konsumsi umum daripada untuk suaminya sendiri. Itulah bedanya wanita muslimah dahulu yang shalihah dengan yang sekarang yang semakin rusak.
Semoga Allah beri hidayah pada para istri untuk menjadi istri shalihah serta membahagiakan suami dan keluarga.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!